Salim
A.Fillah mengatakan dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang, “Cita-cita
adalah mimpi yang tertanggal maka sebelum ada tanggalnya, semua
cita-cita itu akan saya sebut mimpi”.
Ya,
mimpi semacam ini bisa saja masuk ke dalam tidur bisa juga tidak.
Adakalanya, karena kuatnya harapan dan keyakinan kita apa yang
diinginkan, semua itu lalu masuk ke dalam tidur. Ia menjadi mimpi dalam
arti sesungguhnya. Tak hanya menguasai alam nyata sang pemimpi, ia juga
merasuk memberi ruh pada dunia khayalnya. Maka mimpi adalah anugrah yang
tak terbatas.
Mimpi
adalah bagian terindah dan terendah dari visi, jika kita hendak
menaikkannya satu asas, jadikanlah ia cita-cita. Bagaimana caranya?
Sematkan saja sebuah tanggal padanya, karena cita-cita adalah mimpi yang
tertanggal. Cita-cita adalah mimpi yang telah kita tentukan waktu kita
mewujudkannya.
Theodor Hertz di tahun 1988 mengubah mimpinya sebuah
cita-cita. Katanya, “Hari ini ku proklamirkan Negara yahudi raya di
Palestina. Hari ini memang sangat pantas aku ditertawakan, tapi
selambat-selambatnya 50 tahun lagi, aku yakin bahwa mereka yang mengabdi
untuk Zionisme-lah yang akan tertawa”. Meski jahat, mimpinya benar.
Meski kejam, cita-citanya terbukti dan Israel berdiri di tahun 1948.
Ya,
seorang pemimpi hanya bisa dihadapi oleh pemimpin yang lain. Maka
protagonis kisah Hertz dan Zionisme-nya adalah Ahmad Yasin dan
Hamas-nya. Seorang pemuda biasa yang bermimpi melawan kedzaliman yang
mencakar koyak wajah bumi para nabi, tanah kelahirannya. Sejak
pertengahan abad lalu sampi saat ini, mimpi Ahmad Yasin dan hamas tetap
menegakkan bulu roma hingga tawa para Zionis tak terlalu menganga.
Sosok
pemimpi yang lain adalah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia telah
memimpikan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin Negara dan akhirnya
impiannya tercapai juga.
Demikian
pula pemimpin Negara yang bernama Abraham Lincoln. Ia menjadi presiden
Amerika di usianya yang ke empat puluh tahun setelah ia mencita-citakan
di masa mudanya.
Pembaca
yang budiman, kalau kita belum berani bermimpi dan pesimis, coba kita
buka kembali novel Laskar pelangi. Andre Hirata mengatakan,”Bagaimanapun
terbatas keadaanya, setiap orang berhak memiliki cita-cita dan
keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita ….”.
Seorang Hasan Al Banna mengatakan, “Mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok.”
Perlu
diingat juga, saat kita menentukan sebuah mimpi, sewajarnya kita
berpikir realistis. Keputusannya selalu berdasarkan data-data dan
kamampuan, bukan ilusi dan khayalan. Ketika menatap langit jangan pernah
lupa bahwa kita masih ada di bumi.
Muslim
yang realistis adalah mereka yang memiliki cita-cita yang tinggi.
Cita-cita yang mulia lagi besar. Mereka inilah generasi yang berfikir
visioner, memiliki pandangan yang jauh ke depan, namun ia pun siap
menghadapi berbagai ombak yang setiap saat datang menerjang.
Akhir kata, selamat bermimpi….
Rudy hartanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar